Tidak dipungkiri, meski terdapat perjanjian internasional untuk mengurangi kadar emisi, buangan emisi yang dikeluarkan seringkali lebih banyak dibandingkan usaha untuk menguranginya. Hal ini disebabkan banyak hal, namun sebagian besar karena aktivitas manusia. Seperti emisi gas rumah kaca dari listrik, peternakan dan pertanian, industri, hingga transportasi dan sampah makanan.
Hal ini rasanya tidak jauh beda dengan keadaan di Indonesia. Sebagaimana pernyataan sebelumnya, salah satu penyebab emisi gas rumah kaca adalah aktivitas manusia, termasuk aktivitas hutan. Sepanjang dua dekade terakhir, emisi gas rumah kaca di hutan Indonesia masih jadi persoalan pemerintah.
Global Forest Watch mengamati bahwa masih ada emisi gas rumah kaca dengan jumlah tidak sedikit yang dihasilkan oleh aktivitas hutan Indonesia. Lembaga ini mencata bahwa selama dua dekade terakhir, rata-rata 20.4 GtCO2e (gigatonnes of equivalent carbon dioxide) terjadi di hutan Indonesia yang penyebab utamanya adalah deforestasi.
Kehilangan wilayah tutupan hutan Indonesia turut menyebabkan 961 megaton gas terlepas ke atmosfer setiap tahunnya.
Global Forest Watch turut melaporkan bahwa ada empat kategori utama penyebab timbulnya gas rumah kaca di hutan Indonesia. Empat kategori tersebut adalah kehutanan (forestry), perladangan berpindah (shifting agriculture), urbanisasi dan deforestasi untuk komoditas.
Berdasarkan data laporan tersebut, terlihat bahwa emisi gas dari hutan Indonesia paling banyak dihasilkan di tahun 2016. Tercatat bahwa 1.78 GtCO2e (gigatonnes of equivalent carbon dioxide) yang dihasilkan akibat aktivitas hutan Indonesia. Sementara itu, 2013 menjadi tahun di mana emisi gas paling sedikit dihasilkan dari aktivitas hutan Indonesia, yaitu 430 MtCO2e (megatonnes of carbon dioxide equivalent).
Terlihat juga bahwa hutan Indonesia paling banyak mengeluarkan gas rumah kaca akibat deforestasi untuk komoditas, yakni di angka 18709.69 MtCO2e. Penyebab kedua adalah kehutanan yang menghasilkan 622 MtCO2e selama dua dekade belakangan. Perladangan berpindah (shifting agriculture) menyusul di angka 61.66 MtCO2e, dan ditutup oleh urbanisasi yang menghasilkan 21.597 MtCO2e.