Hilirisasi nikel di Raja Ampat menjadi salah satu isu yang belakangan viral di berbagai lini media sosial maupun kanal berita online. Isu ini terjadi akibat konflik kepentingan ekonomi nasional dengan pelestarian lingkungan di kawasan Raja Ampat, Papua.
Berbagai aktivitas pertambangan, seperti yang dilakukan oleh PT Gag Nikel di pulau-pulau Gag, Kawe, dan Manuran memicu kekhawatiran pegiat lingkungan atas kerusakan terumbu karang, deforestasi, dan ancaman terhadap biodiversitas laut, serta pencemaran lingkungan yang signifikan.
Dari sinilah bermula kampanye tentang perlindungan Raja Ampat melalui kelahiran tagar #SaveRajaAmpat. Kampanye ini digaungkan oleh aktivis lingkungan, influencer, dan masyarakat digital dengan fokus menyoroti dampak negatif dari pertambangan nikel di wilayah tersebut. Hal ini juga bertepatan dengan hari lingkungan hidup yang diperingati setiap tanggal 5 Juni.
Melalui kampanye tersebut, masyarakat digital mulai menyadari dan peduli pada isu hilirisasi nikel di Raja Ampat, Papua. Akibatnya, berbagai media sosial dan kanal berita online mulai ramai dengan tajuk menolak pertambangan dan mendukung konservasi untuk Raja Ampat.
Terkait isu ini, Drone Emprit melakukan riset singkat mulai dari tanggal 1 sampai dengan 9 Juni 2025. Lembaga tersebut melakukan analisis sentimen publik terhadap isu hilirisasi Raja Ampat di beberapa platform media sosial seperti Twitter (X), Instagram, Facebook, YouTube, Tiktok, dan beberapa kanal berita online.
Hasilnya menunjukkan bahwa terhadap isu ini sebagian besar media online menunjukkan angka positif sebesar 67%, negatif 13%, dan netral 20%. Jauh berbeda dengan tanggapan masyarakat digital di media sosial yang menunjukkan sentimen positif hanya sebesar 3%, negatif 95%, dan netral 2%.
Dalam hal ini, sebagian besar sentimen positif menunjukkan apresiasi langkah Menteri ESDM Indonesia, yakni Bahlil dalam menyelesaikan polemik pertambangan nikel, mendorong pemerintah melakukan evaluasi ketata sebelum memberikan izin operasi tambang, bahkan sampai menyebut bahwa polemik di Raja Ampat merupakan hoaks.
Sementara itu, sebagian besar sentimen negatif menyatakan bahwa kerusakan ekosistem di Raja Ampat terjadi akibat aktivitas tambang nikel, hilirisasi yang dikaitkan dengan kolonialisme modern terhadap tanah Papua, dan hilirisasi sebagai kedok untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam.
Masih dalam riset yang sama, Drone Emprit menunjukkan data interaksi dari berbagai platform media sosial seperti Facebook, Twitter (X), YouTube, Instagram, dan Tiktok yang menunjukkan kenaikan isu ini di ekosistem digital. Puncak dari eskalasi tersebut terjadi pada 6 Juni 2025 dengan 5.515 mention terhadap #SaveRajaAmpat.
Situasi ini terjadi akibat penolakan masif gelombang aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, kekhawatiran atas kerusakan lingkungan serta ekosistem laut, dan kritik terhadap pejabat yang dianggap berpihak pada perusahaan tambang. Sebagian besar kampanye tersebut dilakukan oleh influencer dan organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia.
Di sisi lain, menilik kanal berita online, lonjakan justru terjadi pada 8 Juni 2025 yang diwakilkan dengan 4.086 mention terhadap isu hilirisasi pertambangan nikel di Raja Ampat. Sebagian besar pemberitaan menyatakan informasi tentang kerusakan ekosistem akibat pertambangan nikel, peninjauan ulang izin antara pemerintah dan masyarakat lokal, serta kekhawatiran atas dampak hilirisasi terhadap konservasi dan pariwisata Raja Ampat.
Baca Juga: Pembangkit EBT Akan Dominasi Indonesia Tahun 2034