Di Indonesia, status NEET (Not in Education, Employment, or Training) ditetapkan pada kelompok usia muda (15-24 tahun) yang tidak sekolah/kursus dan tidak bekerja. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa NEET di tanah air semakin didominasi oleh wanita daripada laki-laki.
Lebih lanjut, persentase wanita kawin/pernah kawin yang berstatus NEET ternyata lebih tinggi daripada yang belum kawin.
Per 2023, tercatat 95,27% wanita kawin/pernah kawin menyandang status NEET. Fenomena ini terjadi karena tuntutan untuk menikah di usia muda yang dihadapi wanita. Pernikahan membuat sebagian dari mereka lebih fokus pada kehidupan sebagai istri atau ibu, alih-alih berkarier atau melanjutkan pendidikan.
Banyaknya pekerjaan rumah tangga yang harus dilakukan akhirnya memicu wanita untuk tidak bekerja atau sekolah. Bagi mereka yang menjadi ibu, memiliki balita juga meningkatkan risiko jadi NEET karena anak masih butuh banyak perhatian.
Keputusan untuk mengurus rumah tangga ini bisa datang karena pilihan sendiri atau tuntutan budaya, di mana wanita kebanyakan bertugas mengurus rumah tangga dan laki-laki aktif bekerja.
Selain itu, wanita yang sedang atau pernah menikah dan telah lama mengurus rumah tangga pun sulit untuk keluar dari status NEET karena berbagai alasan, seperti kurangnya keterampilan, kompetensi, dan rendahnya pendidikan yang tidak sesuai kualifikasi lapangan kerja.
Untuk mengurangi jumlah wanita kawin/pernah kawin berstatus NEET, pemerintah RI perlu menerapkan berbagai upaya yang dapat membantu para wanita tersebut, seperti menyediakan fasilitas child-care dan kesehatan fertilitas wanita di sekitar tempat kerja.
Program Pra-Kerja yang telah berjalan sejak 2020 juga dapat membantu wanita dalam menguasai dan mengasah keterampilan agar dapat kembali bekerja setelah mengurus rumah tangga, mengurus anak, atau terdampak pemutusan kerja.
Baca juga: 50% Wanita Korbankan Mimpinya, Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga Masih Rendah?