Indonesia berhasil menempati peringkat kelima dunia sebagai produsen bauksit terbesar pada tahun 2024. Berdasarkan data dari United States Geological Survey (USGS), produksi bauksit Indonesia mencapai 32 juta ton, berada di bawah Guinea (130 juta ton), Australia (100 juta ton), China (93 juta ton), dan Brazil (33 juta ton).
Dari total produksi global sekitar 450 juta ton, Indonesia menyumbang sekitar 7,11% dari pasokan bauksit dunia. Posisi ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar sebagai pemasok utama bahan baku industri aluminium global.
Namun, yang menjadi pertanyaan utama adalah apakah Indonesia mampu memanfaatkan posisi strategis ini untuk bersaing dalam rantai nilai industri aluminium yang lebih tinggi.
Produksi Alumina dan Aluminium Indonesia Masih Terbatas
Sebagai bahan baku utama dalam pembuatan alumina, yang kemudian diproses menjadi aluminium, bauksit memiliki peran penting dalam industri manufaktur global.
Namun, selama ini sebagian besar bauksit Indonesia masih diekspor dalam bentuk mentah atau belum sepenuhnya diolah. Akibatnya, nilai tambah dari industri ini lebih banyak dinikmati oleh negara lain yang memiliki infrastruktur pengolahan lebih maju.
Untuk mengatasi hal tersebut, sejak 2023 pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan hilirisasi bauksit melalui larangan ekspor bauksit mentah. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pembangunan smelter dan pabrik pengolahan alumina di dalam negeri.
Meski demikian, kontribusi Indonesia dalam rantai pasok global alumina dan aluminium masih sangat kecil. Produksi alumina Indonesia baru mencapai 1,3 juta ton, atau sekitar 0,92% dari total produksi alumina dunia yang mencapai 140 juta ton.
Sementara itu, produksi aluminium Indonesia hanya sekitar 275 ribu ton, atau sekitar 0,38% dari total produksi aluminium global yang mencapai 72 juta ton, berdasarkan data dari USGS dan Inalum.
Ekspor Tertekan CBAM: Industri Harus Siap dengan Standar Emisi Global
Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) adalah kebijakan tarif karbon yang diterapkan oleh Uni Eropa terhadap produk impor dari negara lain yang dinilai belum memiliki standar emisi karbon yang sebanding Uni Eropa. CBAM akan resmi diterapkan pada tahun 2026 dan Aluminium menjadi komoditas prioritas yang akan dikenakan tarif tersebut.
Berdasarkan analisis peneliti Transisi Bersih, Indonesia perlu melakukan dekarbonisasi pada sektor hilirisasi aluminium agar dapat beradaptasi dengan tren pasar global.
Penggunaan energi bersih serta penerapan standar ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam proses produksi menjadi salah satu kunci agar aluminium Indonesia mampu bersaing. Fokus pembangunan industri tidak cukup hanya pada peningkatan produksi, tetapi juga harus memperhatikan arah tren dan persaingan global.
Baca Juga: Bukan Warga Sekitar, Ini Pihak yang Dinilai Paling Diuntungkan dari Tambang
Sumber:
https://www.usgs.gov/centers/national-minerals-information-center/bauxite-and-alumina-statistics-and-information
https://www.usgs.gov/centers/national-minerals-information-center/aluminum-statistics-and-information
https://www.inalum.id/id/esg/hubungan-investor/laporan-tahunan
https://transisibersih.org/publication/detail/strategi-dekarbonisasi-hilirisasi-aluminium-mendorong-transisi-yang-adil-dan-kompetitif