Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender. Menurut Komnas Perempuan, jumlah kasus femisida mencapai 290 peristiwa pada 2024.
Sayangnya, media yang berperan sebagai alat diseminasi informasi masih menganggap femisida sebagai bentuk tragedi dengan membuat framing berita yang tidak berpihak kepada korban.
Pemberitaan tentang femisida kerap kali menempatkan korban sebagai pihak yang layak disalahkan karena dianggap memicu kecemburuan, menolak pelaku, bekerja sebagai pekerja seks, atau semata-mata karena identitasnya sebagai janda, perempuan tua, atau remaja.
Berdasarkan Laporan Femisida 2024, terdapat tujuh bentuk framing yang digunakan dalam memberitakan kasus femisida yang dianalisis dari 472 media daring yang memberitakan 204 kasus.
Ternyata, 35% berita femisida masih menggunakan narasi hiperbolis dan romantisasi kekerasan. Seperti dalam kasus pembunuhan istri oleh suami, media menggunakan judul “Kisah Cinta Pasutri yang Berakhir Mutilasi” atau menggunakan frasa “terbakar api cemburu” seolah-olah peristiwa tersebut adalah tragedi cinta dramatis ketimbang kejahatan berbasis gender.
Sementara itu, 23% berita femisida acap kali tidak melindungi privasi korban dengan menampilkan nama, foto pribadi, bahkan profesi korban. Hanya sekitar 18% framing berita femisida sudah cukup baik dan memenuhi etika jurnalisme.
Kesalahan pemberitaan terjadi pada 13% berita femisida yang dapat memicu misinformasi. Kemudian, 6% berita femisida menggunakan narasi yang memojokkan korban, seakan-akan perempuanlah yang memancing kekerasan itu terjadi dan mengaburkan tanggung jawab yang harusnya dibebankan pada pelaku.
Lebih lanjut, 3% berita femisida mengandung informasi yang tidak lengkap seperti motif pembunuhan, nama, atau usia pelaku. Terakhir, 2% berita femisida mengobjektifikasi korban dengan penggunaan frasa “remaja cantik” atau “janda” tanpa relevansi dengan kekerasan yang terjadi.
Jika pemberitaan dengan framing nirempati ini dibiarkan, media akan terus turut melanggengkan kekerasan melalui misinterpretasi dan validasi narasi kekerasan berbasis gender di ruang publik.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online Tembus 665 Perkara Kuartal II 2025
Sumber:
https://jakartafeminist.com/wp-content/uploads/2025/08/Laporan-Femisida-2024.pdf#page=94.13