Digitalisasi dan globalisasi telah menghubungkan kehidupan manusia. Berbagai kegiatan kini dapat dilakukan di dalam ruang digital, tak terkecuali dengan bekerja. Transformasi industri 4.0 telah mengubah sistem operasional berbagai bidang industri ke ranah digital.
Remote work atau work from home (WFH) juga sempat menjadi tren saat pandemi Covid-19. Selepas pandemi, kerja remote menjadi salah satu pilihan karier yang dilirik oleh banyak kalangan. Bahkan, istilah WFH kini bekembang menjadi work from anywhere (WFA).
Kini tren remote jobs semakin menjamur, berbagai perusahaan ramai-ramai membuka lowongan remote jobs untuk memangkas biaya operasional. Terlepas dari fleksibilitas remote jobs, bekerja secara remote tentunya memiliki tantangan tersendiri. Salah satu masalah utama dari pekerja remote adalah keseimbangan antara kehidupan personal dan pekerjaan, karena kebanyakan remote jobs tidak memiliki jam kerja yang pasti.
Berdasarkan laporan State of Global Workplace 2025 yang dirilis oleh Gallup, tingkat stres pekerja remote nyatanya lebih tinggi dibandingkan pekerja di lokasi fisik atau kantor. Menurut survei, sebanyak 45% pekerja remote mengalami stres beberapa hari sebelum survei, dan 46% pekerja hybrid (bauran online dan offline) juga mengalami hal serupa.
Selain level stres yang tinggi, pekerja remote juga cenderung merasakan level marah, sedih, dan kesepian yang lebih tinggi dibandingkan pekerja yang bekerja di lokasi fisik. Uniknya, pekerja hybrid memiliki level marah dan sedih yang lebih rendah dibandingkan pekerja on-site.
Survei ini dilakukan di 160 negara dan menyasar pekerja yang berumur 15 tahun ke atas. Pengumpulan data dilakukan pada April–Desember 2024, dan berhasil menyasar 227.437 responden, dengan rata-rata responden per negara atau wilayah sekitar 1.000 orang. Pelaksanaan survei dilaksanakan secara tatap muka ataupun melalui telepon. Â
Baca Juga: Ini Dia 7 Alasan Banyak PHK di 2025 Menurut Kemnaker